Klik Disini Pasti Untung - Iklan Sponsor

Selasa, 23 Februari 2010

Bakso Khalifatullah

Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul mendistribusikan uang itu ke tiga ternpat : sebagian ke laci gerobaknya, sebagian ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.

“Selalu begitu, Pak?”, aku bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.

“Maksud Bapak?” ia ganti bertanya. “Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”
la tertawa. “lya Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan bukan semua hak saya”.


“Maksud Pak Patul?”, ganti aku yang bertanya. “Dari pendapatan yang aku peroleh dari kerja aku terdapat uang yang merupakan milik keluarga saya, milik orang lain, dan milik Tuhan”.

Aduh gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, aku mengejar lagi.

“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq, qurban, dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH. Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga aku masih bisa menjangkaunya”

Spontan aku menghampiri beliau. Hampir aku peluk, tapi dalam budaya kami orang kecil jenis ekspresinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu apa pun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata masih hidup, atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.

Bahunya saja yang aku pegang dan agak aku remas, tapi karena emosi aku bilang belum cukup maka aku guncang-guncang tubuhnya. Hatiku meneriakkan “Jazakumullah masyaallah, wa yushlihu balakum!”, tetapi bibirku pemalu untuk mengucapkannya. Tuhan memberi ‘Ijazah’ kepadanya dan selalu memelihara kebaikan urusan-urusannya.

Aku juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di dalam diriku tidak terdapat sesuatu yang aku kagumi sebagaimana kekaguman yang aku temukan pada prinsip, manajemen, dan disiplin hidup Pak Patul. Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya : bahwa aku tidak mungkin siap mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan ikhlas.

Aku lebih berpendidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas sosial aku lebih tinggi darinya. Tetapi di sisi mana pun dari realitas hidupku, tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuatku berbohong jika mengucapkan kalimat seperti diucapkannya: “Di antara pendapatanku ini terdapat milik keluargaku, orang lain, dan milik Tuhan".

Peradabanku masih peradaban “milik saya”. Peradaban Pak Patul sudah lebih maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, lebih mulia, dan tidak pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.

30 tahun silam aku pernah menuliskan kekagumanku kepada penjual cendol yang marah-marah dan menolak cendolnya diborong oleh Pak Kiai Hamam Ja’far Pabelan karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?"

Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 aku pakai sampai tua. Aku butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi uangku kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga per-batang aku tawar. Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberiku 40 jagung.

“Lho, uangku tidak cukup, Pak.”

“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap.”

“Berarti aku hutang?”

“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya.”

Doooh adoooh....! Tompes ako tak'iye!

Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo aku masuk sebuah toko kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana, jadi aku jaga tokonya. Ketika datang aku protes : “Keeif lnta ya Akh...kemane aje? Kalau aku ambilin barang-barang Inta terus aku ngacir pigimane dong...”

Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk : “Kalau mau curi barang aku ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan...”


Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece. Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi. Makhluk-makhluk agung menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun dan di mana-mana pun. Bakso Khalifatullah, bahasa Jawanya : bakso-nya Pak Patul, terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.

Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendol, belum Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur Bupati Wali Kota Tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum kiai dan Ulama.

Bagaimana dengan kita??

(Disadur dari buku Emha Ainun Nadjib : Demokrasi la roiba fih : Paguyuban Ahli Syurga)

read more..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar