Klik Disini Pasti Untung - Iklan Sponsor

Selasa, 23 Februari 2010

Mbok Gak Usah Ada Neraka

"Apakah sukar bagi kalian memahami hal ini?" Sunan Kudus membuka pembicaraan sambil tetap tersenyum. "Saridin telah bersyahadat. Ia bukan membaca syahadat, melainkan bersyahadat. Kalau membaca syahadat, bisa dilakukan oleh bayi umur satu setengah tahun. Tapi bersyahadat hanya bisa dilakukan oleh manusia dewasa yang matang dan siap menjadi pejuang dari nilai-nilai yang diikrarkannya."
"Membaca syahadat adalah mengatur dan mengendalikan lidah untuk mengeluarkan suara dan sejumlah kata-kata. Bersyahadat adalah keberanian membuktikan bahwa ia benar-benar meyakini apa yang disyahadatkannya. Dan Saridin memilih satu jenis keberanian untuk mati demi menunjukkan keyakinannya, yaitu menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa."

itulah yg dilakukan saridin ketika ditest bersyahadat oleh Kanjeng Suna Kudus. Setiap calon santri di padepokan Sang Sunan, di test dulu bagaimana ia membaca kalimat Syahadat. Dan Saridin memiliki lafal dan caranya sendiri dalam bersyahadat. Ia menjatuhkan diri dari atas pohon kelapa. karena Saridin kawatir Anda kaget lantas darah tinggi anda kambuh, maka harus diterangkan dulu beberapa hal mendasar yang menyangkut hubungan antara Tuhan dengan humor.

Sejak mulai akil balig, Saridin secara naluriah maupun perlahan-lahan secara rasional memutuskan untuk melihat dan memperlukan kehidupan ini sebagai sesuatu yang sangat bersungguh-sungguh namun ia menjalininya dengan urat saraf yang santai dan dengan kesiapan humor yang setinggi-tingginya.Soalnya, diam-diam, jauh di dalam lubuk hatinya, Saridin yakin bahwa Tuhan sendiri sesungguhnya adalah Maha Dzat yang penuh humor….Memang belum tentu benar, belum tentu baik dan arif, untuk menyebut bahwa Tuhan itu Maha (Peng-atau Pe-) Humor. Di antara 99 asma dan watak-Nya, tidak terdapat nama Maha Humor. Tapi kalau misalya di satu pihak Tuhan itu Maha Penyayang dan di lain pihak Ia Maha Penyiksa, atau di satu sisi Ia Maha Pengasih dan di sisi lain Ia Maha Penghukum, atau di satu dimensi Ia Maha Penabur rejeki – terpaksa kadang-kadang kita menganggap itu suatu jenis humor. Paling tidak supaya kepala kita tidak pusing.Ada sih penjelasan kontekstualnya. Tuhan mengasihi atau menyiksa hamba-hamba-Nya menurut konteks dan posisi nilai yang memang relevan untuk itu. Tuhan mungkin mengasihi siapa saja meskipun mereka mbalelo kepada-Nya: Tuhan tetap memelihara napas para maling, Tuhan tidak menyembunyikan matahari dari para perampok, Tuhan tidak menghapus ilmu dari otak pada koruptor.Tapi tidak mungkin Tuhan menyiksa orang yang patuh kepada-Nya. Tuhan tidak mungkin menghukum orang yang tak punya kesalahan kepada-Nya. Kalau Tuhan menahan rejeki orang yang taat kepadanya, maka penahanan rejeki itu mungkin merupakan suatu jenis rejeki tertentu yang merupakan metoda agar orang tersebut menghayatinya dan memperoleh nilai lain yang lebih tinggi.

Atau kalau seseorang yang baik kepada Tuhan tapi lantas diberi kemiskinan atau penderitaan, tentu yang terjadi adalah satu di antara tiga kemungkinan.Pertama, itu teguran. Alhamdulilah dong kalau Tuhan berkenan mengkritik kita. Artinya. Itu artinya kita punya kans untuk menjadi lebih baik. Kedua, itu ujian. Juga alhamdulillah, karena hanya orang yang disediakan kenaikan pangkat saja yang boleh ikut ujian. Dan ketiga, itu hukuman. Ini lebih alhamdulillah lagi, karena manusia selalu membutuhkan pembersihan diri, memerlukan proses pensucian dan kelahiran kembali.
Jadi menurut Saridin jelas, bahwa bagi mata pandang manusia, ide-ide pencipataan yang Ia paparkan pada alam semesta dan kehidupan, banyak sekali mengandung hal-hal yang kita rasakan sebagai ‘humor’.Bukan hanya ketika kita melihat perilaku monyet, umpamanya—yang membuat Saridin berpikir. “Ah, ini yang bikin tentu Dzat yang maha pencipta humor, atau sekurang-kurangnya pencipta monyet adalah Intertainer Agung bagi jiwa dahaga manusia.” Soalnya kelakuan monyet ‘kan mirip-mirip Anda….

Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada takdirnya yang menimpa kita, dan itu mungkin menyedihkan, demi supaya kita tetap survive secara psikologis –seringkali kita anggap saja itu semua adalah Humor dari yang Maha Kuasa.Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau kita boleh bermanja kepada Tuhan, mbok ya biarkan saja beliau menghuni surga, Mbok ya Tuhan ndak usah menciptakan Setan, Iblis dan sebangsanya itu . Mbok ya langsung saja manusia yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini ditakdirkan saja untuk menghuni sorga, sehingga Tuhan tak usah juga bikin neraka.Soalnya gara-gara Iblis menang sukses dalam menggoda Adam, lantas di dalam perkembangan peradaban dunia maupun pembangunan kebudayaan nasional—Setan dan Iblis malah mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi idola.Dalam praktek-praktek kehidupan politik, dalam mekanisme perekonomian dan dunia bisnis, dalam soal-soal pembebasan tanah, soal kebebasan asasi manusia dan lain sebagainya—setan banyak menjadi wacana utama. Para penguasa tertentu dan pemegang modal dasar tertentu, banyak memperlakukan Iblis sebagai mitra-kerja, dengan alasan: “Halah, wong Pak Adam saja juga kalah waktu digoda oleh Iblis kok…..”

Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh Sunan Kudus untuk bersyahadat, memutuskan untuk menempuh suatu cara yang membuktikan bahwa ia bukan saja tidak takut melawan Iblis dan Setan—Saridin bahkan membuktikan bahwa ia tak takut mati. Saridin membuktikan bahwa Saridin lebih besar dibanding kematian.…

Dari : Tarekat Terjun Bebas & Jamu Air Gamping Emha Ainun Nadjib

read more..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar