Klik Disini Pasti Untung - Iklan Sponsor

Selasa, 23 Februari 2010

Negeri Lir –Ilir (Renungan Bagi negeri)

Lir-ilir,lir- ilir tandure wis sumilir
Lir ilir lir ilir tanamannya sudah tumbuh/mekar

Tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar
Tumbuhnya menghijau, (terlihat) seperti pengantin baru

Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi
Anak gembala, (tolong) panjatlah pohon belimbing itu

Lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro
Walaupun (pohonnnya) licin panjatlah untuk membilas
dodot-mu (sarung/pakaian)

Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Pakaianmu sobek di pinggirnya

Domono jlumatana kanggo seba mengko sore
Jahitlah, untuk pertemuan nanti sore (sholat)

Mumpung jembar kalangane
Selagi masih luas waktu/tempatnya

Mumpung padhang rembulane
Selagi masih terang bulannya

Yo surako.....surak..... oreeee......
Bersoraklah dengan gembira...

Bisakah luka yg teramat dalam ini nanti bisa sembuh. Bisakah kekecewaan bahkan keputus asaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini pada akhirnya nanti akan kikis. Adakah kemungkinan kita bisa merangkak naik ke bumi dari jurang yang teramat curam dan dalam. Akankah api akan berkobar-kobar lagi. Apakah asap akan membubung lagi dan memenuhi angkasa tanah air. Akankah kita semua akan bertabrakan lagi satu sama lain, jarah menjarah satu sama lain dengan pengorbanan yang tak akan terkirakan. Adakah kemungkinan kita tahu apa yang sebenarnya kita sedang jalani, bersediakah kita sebenarnya untuk tahu persis apa yang sesungguhnya kita cari. Cakrawala yang manakah, yang menjadi tujuan sebenarnya dari langkah-langkah kita. Pernahkah kita bertanya bagaimana cara melangkah yang benar. Pernahkah kita mencoba menyesali hal-hal yang barangkali perlu disesali dari perilaku-perilaku kita yang kemarin. Bisakah kita menumbuhkan kerendahan hatian di balik kebanggaan-kebanggaan. Masih tersediakah ruang di dada kita dan akal kepala kita untuk sesekali berkata pada diri sendiri, bahwa yang salah bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa bukan hanya Ia, tetapi juga kita. Masih tersediakah peluang didalam kerendahan hati kita untuk mencari apapun saja yang kira-kira kita perlukan meskipun barangkali menyakitkan diri kita sendiri, mencari hal-hal yang kita benar-benar butuhkan, agar supaya sakit..sakit..sakit kita ini benar-benar sembuh total. Sekurang-kurangnya dengan perasaan santai kepada diri sendiri untuk menyadari dengan sportif bahwa yang mesti di sembuhkan yang nomer satu yang ada diluar diri kita namun didalam diri kita. Yang perlu utama kita lakukan adalah penyembuhan diri yang kita yakini bahwa harus betul-betul disembuhkan justru segala sesuatunya yang berlaku didalam hati dan akal pikiran kita.
Ini arti yg lebih jelasnya :

Ilir-ilir, ilir-ilir
tandure wus sumilir
tak ijo royo-royo
tak sengguh temanten anyar

Kanjeng sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita, tentang kita, tentang segala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri namun tak kunjung sanggup kita mengerti, sejak lima abad silam syair itu Ia telah lantunkan, dan tidak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah paham. Padahal kata-kata beliau itu mengeja kehidupan kita ini sendiri Alfa, Beta, Alif, Ba’, Ta’, kebingungan sejarah kita dari hari ke hari. Sejarah tentang sebuah negeri, yang puncak kerusakannya terletak pada ketidak sanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah sedemikian tidak terperih, “menggeliatlah dari matimu” tutur sang Sunan. Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun, bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu, sungguh negeri ini adalah penggalan syurga. Syurga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya, dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya. Kau bisa tanam benih kesejateraan apa saja di atas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan, tidak munkin kau temukan makhluk Tuhanmu kelaparan ditengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra ini. Bahkan bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-negeri lain yang manapun, tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal syurga ini, kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini dengan cocok tanam ketidak adilan dan panen-panen kerakusan.

Bocah angon, bocah angon
penekno blimbing kuwi
lunyu-lunyu penekno
kanggo mbasuh dodot-iro

Kanjeng sunan tidak memilih figur misalnya pak jendral, juga bukan intelektual-intelektual, ulama-ulama, seniman-seniman, satrawan-sastrawan atau apapun tetapi “CAH ANGON” beliau juga menuturkan “Penekno belimbing kuwi” bukan penekno pellem kuwi, bukan penekno sawo kuwi, atau penekno buah yang lain namun belimbing bergigir lima! Terserah apa tafsirmu mengenai lima, yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin itu (lunyuh-lunyuh penekno) agar blimbing bias kita capai bersama-sama dan yang harus memanjat adalah “BOCAH ANGON” Anak gembala, boleh saja dia seorang doctor, boleh seorang seniman, boleh seorang kiai, boleh seorang sastrawan, boleh seorang jendral atay siapapun, namun Ia harus memiliki daya angon, daya menggembalakan, kesanggupan untuk ngemong semua fihak, karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesama saudara sebangsa, determinasi yang menciptakan resultan kedamaian bersama. Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan, Bocah Angon adalah seorang pemimpin nasional bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan. Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini sang bocah angon harus memanjatnya harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya bukan ditebang, dirobohkan, atau diperebutkan dan air sari pati belimbing lima gigir ini di perlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Pakaian adalah akhlak, pakaian adalah sesuatu yang menjadikan manusia bukan binatang. Kalau engkau tidak percaya, berdirilah engkau di depan pasar dan copotlah pakaianmu maka engkau kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral, dan sistem nilai. Sistem nilai itulah yang harus kita cuci dengan PEDOMAN LIMA.

Dodot-iro, dodot-iro
kumitir bedah ing pinggir
dondomono, jlumatono
kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane
mumpung jembar kalangane

Pakaian kebangsaan kita, harga diri nasionalisme kita telah sobek-sobek oleh tradisi penindasan, pleh tradisi kebodohan, oleh tradisi keserakahan yang tidak habis-habis. Dondomono, jlumatono, kanggo sebo harus kita jahit kembali, harus kita benahi lagi, harus kita utuhkan kembali agar supaya kita siap menghadap ke masa depan. Memang kita sudah lir..ilir..sudah ngelilir, sudah terbangun dari tidur, sudah bangun, sudah bangkit sesudah tidur terlalu nyenyak selama 30 tahun atau mungkin lebih lama dari itu. Kita memang sudah bangkit, beribu-ribu kaum muda, berjuta-juta rakyat sudah bangkit keluar rumah dan memenuhi jalanan. Membajiri sejarah dengan semangat menguak kemerdekaan yang telah lama diidamkan akan tetapi mungkin karena terlalu lama kita tidak merdeka sekarang kita tidak terlalu mengerti bagaimana mengerjakan kemerdekaan sehingga tidak paham beda antara demokrasi dan anarkhi. Terlalu lama kita tidak boleh berfikir lantas sekarang hasil pikiran kita keliru-keliru, sehingga tidak mampu membedakan mana asap, mana api, mana emas, mana Loyang, mana nasi, dan mana tinja. Terlalu lama kita hidup di dalam ketidakmenentuan nilai lantas sekarang semakin kabur pandangan kita terhadap nilai-nilai yang berlaku dalam diri kita sendiri, sehingga yang kita jadikan pedoman kebenaran hanyalah kemauan kita sendiri, nafsu kita sendiri, kepentingan kita sendiri, terlalu lama kita hidup dalam kegelapan sehingga kita tidak mengerti bagaimana melayani cahaya. Sehingga kita tidak becus mengurusi bagaimana cahaya terang, sehingga didalam kegelapan gerhana rembulan yang membikin kita buntu sekarang kita junjung junjung penghianat, kita buang-buang para pahlawan, kita bela kelicikan, dan kita curigai ketulusan

Aku ingin mengajakmu berkeliling untuk memandang warna warni yang bermacam-macam dengan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing. agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita, dan aku ingin mengajakmu untuk mendengarkan siapa saja diantara saudara-saudara kita tanpa perlu kita larang-larang untuk menjadi ini atau untuk menjadi itu asalkan kita bersepakat bahwa bersama-sama mereka semua ,kita akan menyumbangkan yang terbaik bagi semuanya, bukan hanya bagi ini atau itu, bukan hanya bagi yang disana atau yang di situ

sumber : Emha Ainun Nadjib

read more..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar